ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI “ HUKUM PERIKATAN”



ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI
“ HUKUM PERIKATAN”



NAMA : HANA KARLINA

NPM : 23211172

KELAS : 2EB10



UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS EKONOMI JURUSAN AKUNTANSI
DEPOK
2013




HUKUM PERIKATAN






Kerangka Tulisan  

  1. Pengertian Hukum Perikatan   
 2. Dasar Hukum Perikatan 
 3.   Azas-azas Dalam Hukum Perikatan
 4.   Wanprestasi dan Akibat-akibatnya
       5. Hapusnya Perikatan




1.      Pengertian Hukum Perikatan

KUH Perdata tidak memberikan secara rinci tentang Pengertian atau Definisi Perikatan, sehigga Perumusan mengenai Pengertian atau Definisi Perikatan pada umumnya diberikan oleh para sarjana. Dengan demikian Pengertian atau definisi Perikatan adalah merupakan doktrin atau ajaran atau hanya ada dalam lapangan Ilmu Pengetahuan, bukan merupakan ketentuan yang mengikat yang meliputi baik dari segi kreditor maupun dari segi debitor (subyek dalam perikatan). Beberapa sarjana yang mengemukaan pengertian atau definisi Perikatan, antara lain :

1.      Menurut Hofmann :
Suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subyek-subyek hukum sehubungan dengan itu dengan seseorang atau beberapa prang daripadanya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu

2.      Menurut Pitlo :
Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang  bersifat harta kekayaan antara 2 orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi

3.      Menurut R. Subekti :
Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara 2 pihak, yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu

4.      Menurut Dr. Achmad Busro :
Pada prinsipnya Perikatan adalah terdapatnya hubungan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.

Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).

Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Sementara pengertian hukum perikatan yang umum digunakan dalam ilmu hukum adalah:
“suatu hubungan hukum mengenai kekayaan harta benda antara dua orang yang memberi hak kepada pihak yang satu untuk menuntut sesuatu barang dari pihak yang lainnya sedangkan pihak yang lainnya diwajibkan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pihak yang berhak menuntut adalah pihak yang berpihutang (kreditur) sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang (debitur) sementara barang atau sesuatu yang dapat dituntut disebut dengan prestasi”.


2. Dasar Hukum Perikatan

Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :

1. Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2. Perikatan yang timbul dari undang-undang
     Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen)

a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata

Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal termasuk dalam sumber – sumber perikatan.

b. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia


3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )

 Sumber Perikatan 



 
    Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.

1. Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2. Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3. Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.

3.     Asas-asas dalam Hukum Perikatan

Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yaitu :


1. ASAS KONSENSUALISME

ü Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
ü Pasal 1320 KUHP Perdata  : untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat sarat :
           (1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
           (2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
           (3) suatu hal tertentu
           (4) suatu sebab yang halal.  

      Pengertian kesepakatan dilukiskan dengan sebagai pernyataan kehendak bebas yang disetujui antara pihak-pihak

2. ASAS PACTA SUNT SERVANDA

ü  Asas pacta sun servanda berkaitan dengan akibat suatu perjanjian.
ü  Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt :  Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang….”
ü  Para pihak harus menghormati perjanjian dan melaksanakannya karena perjanjian itu merupakan kehendak bebas para pihak


3. ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK


ü  Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
ü   Pasal 1338 KUHPdt : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya

Ketentuan tersebut memberikan kebebasan para pihak untuk :
§ Membuat atau tidak membuat perjanjian.
§ Mengadakan perjanjian dengan siapapun.
§Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, danpersyaratannya;
§Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

Di samping ketiga asas utama tersebut, masih terdapat beberapa asas hukum perikatan nasional, yaitu :

1.Asas kepercayaan;
2.Asas persamaan hukum;
3.Asas keseimbangan;
4.Asas kepastian hukum;
5.Asas moral;
6.Asas kepatutan;
7.Asas kebiasaan;
8.Asas perlindungan;


4.      Wanprestasi dan Akibat-akibatnya


Kata “wanprestasi” berasal dari Bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk, dan pengertian dari wanprestasi itu sendiri adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban (bukan karena suatu keadaan yang memaksa) sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara Kreditur dengan Debitur.
Dalam KUHPerdata, wanprestasi diatur didalam Pasal 1238. yaitu ; Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah atau dengan akta sejenis itu atau dengan berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan Debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. (Somasi itu minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh Kreditur atau Juru sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan & pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitur wanprestasi atau tidak.)
yang dimaksud dengan Debitur ialah Orang yang mempunyai Utang karena perjanjian atau Undang-Undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan. Sedangkan yang dimaksud dengan kreditur ialah Orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih didepan pengadilan.

Ada empat kategori dari wanprestasi, yaitu :
1.         Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
2.       Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan
3.       Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat
4.       Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya

Akibat-akibat wanprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wanprestasi, dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu :

1.         Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur ( ganti rugi )

            Ganti rugi sering diperinci meliputi tiga unsur, yakni :
a.        Biaya adalah segala pengeluaran atau pengongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak
b.        Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibatkan oleh kelalaian si debitor
c.        Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.

2.       Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.

3.       Peralihan resiko
Adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi objek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH Perdata.


 5.     Hapusnya Perikatan

KUH Perdata mengatur tentang hapusnya perikatanbaik yang timbul dari persetujuan maupun dari undang-undang yaitu dalampasal 1381 KUH Perdata. Dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa ada delapan cara hapusnya perikatan yaitu :
1. Pembayaran
2.Penawaran pembayaran diikuti dengan penitipan.
3.Pembaharuan utang (inovatie)
4.Perjumpaan utang (kompensasi)
5. Percampuran utang.
6. Pembebasan utang.
7.Musnahnya barang yang terutang
8.Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan.

Adapun dua cara lainnya yang tidak diatur KUH Perdata adalah :
9.Syarat yang membatalkan
10. Kedaluwarsa

Jadi dalam KUH Perdata ada sepuluh cara yang mengatur tentang
hapusnya perikatan.

1.         Pembayaran

Yang dimaksud oleh undang-undang dengan perkataan”pembayaran” ialah pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian secarasukarela, artinya tidak dengan paksaan atau eksekusi. Jadi perkataanpembayaran itu oleh undang-undang tidak melulu ditujukan padapenyerahan uang saja tetapi penyerahan tiap barang menurut perjanjian,dinamakan pembayaran. Bahkan si pekerja yang melakukan pekerjaannyauntuk majikannya dikatakan ”membayar”.

Ada beberapa hal yang harus diketahui mengenai pembayaran
yaitu :

a)Siapa yang harus melakukan pembayaran.

Perikatan selain dapat dibayar oleh debitur, juga oleh setiap orang,baik ia berkepentingan atau tidak. Menurut ketentuan KUH Perdatapasal 1382 ayat 1 bahwa perikatan dapat dibayar oleh yangberkepentingan seperti orang yang turut berutang atau seorangpenanggung utang dan menurut ayat duanya bahwa pihak ketiga yangtidak berkepntingan dalam melakukan pembayaran dapat bertindakatas nama si berutang atau atas nama sendiri. Dalam hal pembayarandilakukan atas nama si berutang berarti pembayaran dilakukan oleh siberutang sendiri, sedangkan pembayaran yang dilakukan atas namasendiri berarti pihak ketigalah yang membayarnya.

Kesimpulannya adalah pihak yang berwajib membayar yaitu :

1.   Debitur
    Pasal 1382 KUH Perdata mengatur tentang orang-orang selain dari debitur sendiri.
2. Mereka yang mempunyai kepentingan, misalnya kawanberutang (mede schuldenaar) dan seorang penanggung (borg).
3.  Seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja orang pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utangnya debitur atau pihak ketiga itu bertindak atas namanya sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak kreditur.

b) Syarat untuk debitur yang membayar.

Pada suatu perjanjian penyerahan hak milik menurut pasal 1384 KUHPerdata maka agar penyerahan itu sah diperlukan syarat-syarat sebagaiberikut :

1.         Orang yang membayarkan harus pemilik mutlak dari benda yang diserahkan.
2.       Orang yang menyerahkan berkuasa memindahtangankan benda tersebut.

Apabila yang menyerahkan bukan pemilik benda yang bersangkutan,maka kedua belah pihak dapat menyangkal pembayaran tersebut.Pihak yang menyerahkan dapat menuntut kembali apa yang dibayarkandan kreditur dapat menuntut penyerahan banda yang benar-benar milikdebitur. Namun demikian walaupun penyerahan benda dilakukan olehorang yang bukan pemilik, dan bendanya adalah berwujud uang ataubenda yang sifatnya dapat dihabiskan, maka terhadap apa yang telahdibayarkan itu tidak dapat dituntun kembali oleh debitur, apabilakreditur dengan itikad baik telah menghabiskan benda tersebut (Pasal1384 KUH Perdata).

c)Kepada Siapa Pembayaran Harus Dilakukan

Pembayaran menurut ketentuan dalam Pasal 1385 KUH Perdata harus
dilakukan kepada :

1.         Kreditur.

Pertama-tama adalah kreditur yang berhak untuk menerimaprestasi. Adakalanya prestasi khusus harus disampaikan atauditujukan kepada kreditur, seperti pengobatan atau jika hal tersebutdiperjanjikan. Pasal 1387 KUH Perdata menentukan bahwapembayaran kepada kreditur yang tidak cakap untuk menerimanyaadalah tidak sah, kecuali jika debitur membuktikan bahwa krediturtelah memperoleh manfaat daripada pembayaran tersebut. Jika

reditur tidak cakap (onbekwaam), maka pembayaran harusdilakukan kepada wakilnya menurut undang-undang. Dalam hal iatidak mempunyai wakil, debitur dapat menunda pembayaran,mengingat tdak adanya orang kepada siapa ia dapat melakukanpembayaran secara sah. Jelas yang dimaksud oleh Pasal 1387 KUHPerdata adalah pembayaran yang berupa melaksanakan suatuperbuatan hukum, dimana kreditur harus memberikan bantuannya,seperti penyerahan hak milik. Sebaliknya ketidakcakapan krediturtidak mempunyai pengaruh, jika debitur tanpa bantuan krediturdapat melaksanakan sendiri prestasinya.
Jika untuk perbuatan ukum diisyaratkan bantuan kreditur, makaketidakcakapan kreditur mengakibatkan pembayaran dapatdibatalkan.

2.       Orang yang dikuasakan oleh kreditur.

Pembayaran debitur kepada kuasa kreditur adalah sah. Debiturdapat memilih apakah ia akan membayar kepada kreditur ataukepada kuasanya. Jika kreditur menghendaki agar debiturmembayar kepadanya, maka debitur harus memenuhinya, demikianjuga jika kreditur menghendaki agar pembayaran dilakukan kepadakuasanya. Bagaimana halnya, jika debitur membayar kepadaseseorang yang dianggap selaku kuasa dari kreditur, tetapi ternyatabukan?
Pembayaran yang demikian itu adalah sah, jika dari sikap krediturdapat dianggap bahwa orang tersebut mendapatkan kuasa darikreditur.

3.       Orang yang dikuasakan oleh hakim atau undang-undang untuk menerima pembayaran tersebut.

Wewenang yang diberikan oleh undang-undang untuk menerimapembayaran bagi kreditur adalah misalnya, curator. Pembayaranyang tidak ditujukan kepada kreditur atau kuasanya tidak sah, dankarenanya debitur masih berkewajiban untuk membayar utangnya.

Dalam tiga hal pembayaran yang tidak ditujukan kepada kredituratau kuasanya tetap dianggap sah, yaitu : (1) krediturmenyetujuinya
(2) kreditur endapatkan manfaat.
(3) debiturmembayar dengan itikad baik (Pasal 1386 KUH Perdata).

Sekalipun ketentuan tersebut di atas bersifat umum, akan tetapi tidakberlaku bagi semua pembayaran yang tidak dilakukan kepada atauditerima oleh kreditur atau kuasanya. Contohnya, prestasi kepadapihak ketiga atau prestasi yang berupa untuk tidak berbuat sesuatu atauuntuk melakukan suatu perbuatan hukum sepihak.

d) Obyek pembayaran
Apa yang harus dibayar adalah apa yang terutang. Kreditur bolehmenolak jika ia dibayar dengan prestasi yang lain dari pada yangterutang, sekalipun nilainya sama atau melebihi nilai piutangnya.Pembayaran sebagian demi sebagaian dapat ditolak oleh kreditur.Undang-undang membedakan pembayaran atas :
1.         Utang barang species.

Debitur atas suatu barang pasti dan tertentu, dibebaskan jika iamemberikan barangnya dalam keadaan dimana barang itu beradapada waktu penyerahan, asal pengurangan barangnya antara saatterjadinya perikatan dan penyerahan tidak disebabkan olehperbuatan atau kelalaian debitur, kesalahan atau kelalaian orangyang menjadi tanggungannya, debitur tidak lalai menyerahkanbarangnya sebelum timbul kekurangan tersebut.
2.       Utang barang generik.

Debitur atas barang generik tidak harus menyerahkan barang yang
paling baik atau yang paling buruk.

3.       Utang uang
Uang di sini harus diartikan sebagai alat pembayaran yang sah

Pada asasnya pembayaran dilakukan di tempat yang diperjanjikan.Apabila di dalam perjanjian tidak ditentukan ”tempat pembayaran”maka pembayaran terjadi :
-Di tempat di mana barang tertentu berada sewaktu perjanjian
dibuat apabila perjanjian itu adalah mengenai barang tertentu.
-Di tempat kediaman kreditur, apabila kreditur secara tetap
bertempat tinggal di kabupaten tertentu.
-Di tempat debitur apabila kreditur tidak mempunyai kediaman
yang tetap.
Bahwa tempat pembayaran yang dimaksud oleh pasal 1394 KUHPerdata adalah bagi perikatan untuk menyerahkan sesuatu benda bukanbagi perikatan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

f)Waktu dilakukannya pembayaran

Undang-undang tidak mengatur mengenai waktu pembayaran danpersetujuanlah yang menentukannya. Jika waktunya tidak ditentukan,maka pembayaran harus dilakukan dengan segera setelah perikatanterjadi.

g) Subrogasi
Penggantian kreditur dalam suatu perikatan sebagai akibat adanyapembayaran disebut subrogasi. Atau dengan kata lain subrogasi adalahpenggantian kedudukan kreditur oleh pihak ketiga. Menurut Pasal1400 KUH Perdata subrogasi terjadi karena adanya pembayaran olehpihak ketiga kepada kreditur. Ketentuan ini sebenarnya tidak sesuaidengan terjadinya subrogasi tersebut dalam Pasal 1401 ayat 2 KUHPerdata, di mana yang membayar adalah debitur sekalipun untuk itu iameminjamuang dari pihak ketiga. Pihak ketiga dapat saja merupakanpihak dalam perikatan, misalnya sama-sama menjadi debitur dalamperikatan tanggung renteng.

Dengan terjadinya subrogasi, maka piutang dengan hak-hakaccessoirnya beralih pada pihak ketiga yang menggantikan kedudukankreditur. menurut Pasal 1403 KUH Perdata subrogasi tidak dapat
mengurangi hak-hak kreditur jika pihak ketiga hanya membayarsebagian dari piutangnya. Bahkan untuk sisa piutangnya itu kreditursemula masih dapat melaksanakan hak-haknya dan mempunyai hakuntuk didahilukan daripada pihak ketiga tersebut.

Contoh : Amempunyai utang Rp. 12.000.000,- kepada B dengan jaminan fidusia.Pihak ketiga C membayar sebagian utang A kepada B yaitu sebesarRp. 8.000.000,- Jika kemudian barang yang difidusiakan tersebutdijual laku Rp. 9.000.000,- maka B akan mendapatkan pelunasan lebihdahulu yaitu sebesar Rp. 4.000.000,- dan sisanya Rp. 5.000.000,- baruuntuk C.
Subrogasi dapat terjadi karena persetujuan atau undang-undang (pasal1400 KUH Perdata). Subrogasi karena persetujuan terjadi antarakreditur dengan pihak ketiga atau debitur dengan pihak ketiga.



DAFTAR PUSTAKA 


Kartika Sari, Elsi., Simangunsong, Advendi. 2007. Hukum Dalam Ekonomi.Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia




 






  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar