ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI
“ HUKUM PERIKATAN”
NAMA : HANA KARLINA
NPM : 23211172
KELAS : 2EB10
UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS EKONOMI JURUSAN AKUNTANSI
DEPOK
2013
HUKUM PERIKATAN
Kerangka
Tulisan
1. Pengertian
Hukum Perikatan
2. Dasar
Hukum Perikatan
3. Azas-azas Dalam
Hukum Perikatan
4. Wanprestasi dan Akibat-akibatnya
5. Hapusnya Perikatan
1.
Pengertian Hukum Perikatan
KUH Perdata tidak memberikan secara rinci tentang Pengertian atau Definisi
Perikatan, sehigga Perumusan mengenai Pengertian atau Definisi Perikatan pada
umumnya diberikan oleh para sarjana. Dengan demikian Pengertian atau definisi
Perikatan adalah merupakan doktrin atau ajaran atau hanya ada dalam lapangan
Ilmu Pengetahuan, bukan merupakan ketentuan yang mengikat yang meliputi baik
dari segi kreditor maupun dari segi debitor (subyek dalam perikatan). Beberapa sarjana yang mengemukaan pengertian atau
definisi Perikatan, antara lain :
1.
Menurut Hofmann :
Suatu hubungan
hukum antara sejumlah terbatas subyek-subyek hukum sehubungan dengan itu dengan
seseorang atau beberapa prang daripadanya mengikatkan dirinya untuk bersikap
menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain, yang berhak atas sikap yang
demikian itu
2.
Menurut Pitlo :
Perikatan adalah
suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara 2 orang atau
lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain
berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi
3.
Menurut R. Subekti :
Perikatan adalah
suatu hubungan hukum antara 2 pihak, yang mana pihak yang satu berhak menuntut
sesuatu dari pihak yang lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu
4.
Menurut Dr. Achmad Busro :
Pada prinsipnya
Perikatan adalah terdapatnya hubungan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan
Perikatan dalam
bahasa Belanda disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai
dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang
mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu
menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat
berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat
berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang
bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat
itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang
atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian,
perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut
hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Sementara
pengertian hukum perikatan yang umum digunakan dalam ilmu hukum adalah:
“suatu hubungan
hukum mengenai kekayaan harta benda antara dua orang yang memberi hak kepada
pihak yang satu untuk menuntut sesuatu barang dari pihak yang lainnya sedangkan
pihak yang lainnya diwajibkan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pihak yang
berhak menuntut adalah pihak yang berpihutang (kreditur) sedangkan pihak yang
wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang (debitur) sementara barang atau
sesuatu yang dapat dituntut disebut dengan prestasi”.
2. Dasar Hukum
Perikatan
Dasar hukum
perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2. Perikatan yang
timbul dari undang-undang
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang
saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal
1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari
undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat
perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen)
a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata
Perikatan yang
timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III,
yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara
orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum
tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan.
Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat
pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen)
menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat),
penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal
termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
b. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )
Sumber Perikatan
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan
undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi
undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber
undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut
hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
1.
Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu
persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan
sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2.
Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu
perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang
lain atau lebih.
3.
Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena
undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat
perbuatan orang.
3.
Asas-asas dalam Hukum Perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yaitu :
1.
ASAS KONSENSUALISME
ü Asas konsensualisme
Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya
kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan
sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan
dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
ü Pasal 1320 KUHP
Perdata : untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat sarat :
(1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
(2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
(3) suatu hal tertentu
(4) suatu sebab yang halal.
Pengertian
kesepakatan dilukiskan dengan sebagai pernyataan kehendak bebas yang disetujui
antara pihak-pihak
2.
ASAS PACTA SUNT SERVANDA
ü
Asas pacta sun servanda berkaitan dengan akibat suatu perjanjian.
ü
Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt : Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undangundang….”
ü
Para pihak harus menghormati perjanjian dan melaksanakannya karena perjanjian
itu merupakan kehendak bebas para pihak
ü
Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal
1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat
adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
ü
Pasal 1338 KUHPdt : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya
Ketentuan
tersebut memberikan kebebasan para pihak untuk :
§
Membuat atau tidak membuat perjanjian.
§
Mengadakan perjanjian dengan siapapun.
§Menentukan
isi perjanjian, pelaksanaan, danpersyaratannya;
§Menentukan
bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Di samping ketiga asas utama tersebut,
masih terdapat beberapa asas hukum perikatan nasional, yaitu :
1.Asas
kepercayaan;
2.Asas
persamaan hukum;
3.Asas
keseimbangan;
4.Asas
kepastian hukum;
5.Asas
moral;
6.Asas
kepatutan;
7.Asas
kebiasaan;
8.Asas
perlindungan;
4.
Wanprestasi dan Akibat-akibatnya
Kata
“wanprestasi” berasal dari Bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk, dan pengertian dari wanprestasi itu sendiri
adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban (bukan karena
suatu keadaan yang memaksa) sebagaimana
yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara Kreditur dengan Debitur.
Dalam
KUHPerdata, wanprestasi diatur didalam Pasal 1238. yaitu ; Debitur dinyatakan lalai dengan surat
perintah atau dengan akta sejenis itu atau dengan berdasarkan kekuatan dari
perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan Debitur harus
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. (Somasi itu minimal telah
dilakukan sebanyak tiga kali oleh Kreditur
atau Juru sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditur berhak
membawa persoalan itu ke pengadilan & pengadilanlah yang akan memutuskan,
apakah debitur wanprestasi atau tidak.)
yang
dimaksud dengan Debitur ialah Orang yang mempunyai Utang karena perjanjian atau
Undang-Undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan. Sedangkan yang
dimaksud dengan kreditur ialah Orang yang mempunyai piutang karena perjanjian
atau Undang-Undang yang dapat ditagih didepan pengadilan.
Ada
empat kategori dari wanprestasi, yaitu :
1.
Tidak
melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
2. Melaksanakan apa yang
dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan
3. Melakukan apa yang
dijanjikan tetapi terlambat
4. Melakukan sesuatu
yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya
Akibat-akibat
wanprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan
wanprestasi, dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu :
1.
Membayar
kerugian yang diderita oleh kreditur ( ganti rugi )
Ganti rugi sering diperinci
meliputi tiga unsur, yakni :
a.
Biaya adalah segala pengeluaran atau pengongkosan yang nyata-nyata sudah
dikeluarkan oleh salah satu pihak
b.
Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang
diakibatkan oleh kelalaian si debitor
c.
Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan
atau dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan perjanjian
atau pemecahan perjanjian
Di
dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal
1248 KUH Perdata.
3. Peralihan resiko
Adalah
kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan
salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi objek perjanjian sesuai dengan
Pasal 1237 KUH Perdata.
5.
Hapusnya Perikatan
KUH
Perdata mengatur tentang hapusnya perikatanbaik yang timbul dari persetujuan
maupun dari undang-undang yaitu dalampasal 1381 KUH Perdata. Dalam pasal
tersebut menyebutkan bahwa ada delapan cara hapusnya perikatan yaitu :
1.
Pembayaran
2.Penawaran
pembayaran diikuti dengan penitipan.
3.Pembaharuan
utang (inovatie)
4.Perjumpaan
utang (kompensasi)
5.
Percampuran utang.
6.
Pembebasan utang.
7.Musnahnya
barang yang terutang
8.Kebatalan
dan pembatalan perikatan-perikatan.
Adapun
dua cara lainnya yang tidak diatur KUH Perdata adalah :
9.Syarat
yang membatalkan
10.
Kedaluwarsa
Jadi
dalam KUH Perdata ada sepuluh cara yang mengatur tentang
hapusnya
perikatan.
1. Pembayaran
Yang
dimaksud oleh undang-undang dengan perkataan”pembayaran” ialah pelaksanaan atau
pemenuhan tiap perjanjian secarasukarela, artinya tidak dengan paksaan atau
eksekusi. Jadi perkataanpembayaran itu oleh undang-undang tidak melulu
ditujukan padapenyerahan uang saja tetapi penyerahan tiap barang menurut
perjanjian,dinamakan pembayaran. Bahkan si pekerja yang melakukan
pekerjaannyauntuk majikannya dikatakan ”membayar”.
Ada
beberapa hal yang harus diketahui mengenai pembayaran
yaitu
:
a)Siapa
yang harus melakukan pembayaran.
Perikatan
selain dapat dibayar oleh debitur, juga oleh setiap orang,baik ia
berkepentingan atau tidak. Menurut ketentuan KUH Perdatapasal 1382 ayat 1 bahwa
perikatan dapat dibayar oleh yangberkepentingan seperti orang yang turut
berutang atau seorangpenanggung utang dan menurut ayat duanya bahwa pihak
ketiga yangtidak berkepntingan dalam melakukan pembayaran dapat bertindakatas
nama si berutang atau atas nama sendiri. Dalam hal pembayarandilakukan atas
nama si berutang berarti pembayaran dilakukan oleh siberutang sendiri,
sedangkan pembayaran yang dilakukan atas namasendiri berarti pihak ketigalah
yang membayarnya.
Kesimpulannya
adalah pihak yang berwajib membayar yaitu :
1. Debitur
Pasal 1382 KUH Perdata mengatur tentang orang-orang selain dari debitur
sendiri.
2. Mereka yang mempunyai kepentingan, misalnya kawanberutang (mede schuldenaar)
dan seorang penanggung (borg).
3. Seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja orang pihak
ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utangnya debitur atau pihak
ketiga itu bertindak atas namanya sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak
kreditur.
b)
Syarat untuk debitur yang membayar.
Pada
suatu perjanjian penyerahan hak milik menurut pasal 1384 KUHPerdata maka agar
penyerahan itu sah diperlukan syarat-syarat sebagaiberikut :
1.
Orang yang membayarkan harus pemilik mutlak dari benda yang diserahkan.
2.
Orang yang menyerahkan berkuasa memindahtangankan benda tersebut.
Apabila
yang menyerahkan bukan pemilik benda yang bersangkutan,maka kedua belah pihak
dapat menyangkal pembayaran tersebut.Pihak yang menyerahkan dapat menuntut
kembali apa yang dibayarkandan kreditur dapat menuntut penyerahan banda yang
benar-benar milikdebitur. Namun demikian walaupun penyerahan benda dilakukan
olehorang yang bukan pemilik, dan bendanya adalah berwujud uang ataubenda yang
sifatnya dapat dihabiskan, maka terhadap apa yang telahdibayarkan itu tidak
dapat dituntun kembali oleh debitur, apabilakreditur dengan itikad baik telah
menghabiskan benda tersebut (Pasal1384 KUH Perdata).
c)Kepada
Siapa Pembayaran Harus Dilakukan
Pembayaran
menurut ketentuan dalam Pasal 1385 KUH Perdata harus
dilakukan
kepada :
1.
Kreditur.
Pertama-tama
adalah kreditur yang berhak untuk menerimaprestasi. Adakalanya prestasi khusus
harus disampaikan atauditujukan kepada kreditur, seperti pengobatan atau jika
hal tersebutdiperjanjikan. Pasal 1387 KUH Perdata menentukan bahwapembayaran
kepada kreditur yang tidak cakap untuk menerimanyaadalah tidak sah, kecuali
jika debitur membuktikan bahwa krediturtelah memperoleh manfaat daripada
pembayaran tersebut. Jika
reditur
tidak cakap (onbekwaam), maka pembayaran harusdilakukan kepada wakilnya menurut
undang-undang. Dalam hal iatidak mempunyai wakil, debitur dapat menunda
pembayaran,mengingat tdak adanya orang kepada siapa ia dapat
melakukanpembayaran secara sah. Jelas yang dimaksud oleh Pasal 1387 KUHPerdata
adalah pembayaran yang berupa melaksanakan suatuperbuatan hukum, dimana
kreditur harus memberikan bantuannya,seperti penyerahan hak milik. Sebaliknya
ketidakcakapan krediturtidak mempunyai pengaruh, jika debitur tanpa bantuan
krediturdapat melaksanakan sendiri prestasinya.
Jika
untuk perbuatan ukum diisyaratkan bantuan kreditur, makaketidakcakapan kreditur
mengakibatkan pembayaran dapatdibatalkan.
2.
Orang yang dikuasakan oleh kreditur.
Pembayaran
debitur kepada kuasa kreditur adalah sah. Debiturdapat memilih apakah ia akan
membayar kepada kreditur ataukepada kuasanya. Jika kreditur menghendaki agar
debiturmembayar kepadanya, maka debitur harus memenuhinya, demikianjuga jika
kreditur menghendaki agar pembayaran dilakukan kepadakuasanya. Bagaimana
halnya, jika debitur membayar kepadaseseorang yang dianggap selaku kuasa dari
kreditur, tetapi ternyatabukan?
Pembayaran
yang demikian itu adalah sah, jika dari sikap krediturdapat dianggap bahwa
orang tersebut mendapatkan kuasa darikreditur.
3.
Orang yang dikuasakan oleh hakim atau undang-undang untuk menerima pembayaran
tersebut.
Wewenang
yang diberikan oleh undang-undang untuk menerimapembayaran bagi kreditur adalah
misalnya, curator. Pembayaranyang tidak ditujukan kepada kreditur atau kuasanya
tidak sah, dankarenanya debitur masih berkewajiban untuk membayar utangnya.
Dalam
tiga hal pembayaran yang tidak ditujukan kepada kredituratau kuasanya tetap
dianggap sah, yaitu : (1) krediturmenyetujuinya
(2)
kreditur endapatkan manfaat.
(3)
debiturmembayar dengan itikad baik (Pasal 1386 KUH Perdata).
Sekalipun
ketentuan tersebut di atas bersifat umum, akan tetapi tidakberlaku bagi semua
pembayaran yang tidak dilakukan kepada atauditerima oleh kreditur atau
kuasanya. Contohnya, prestasi kepadapihak ketiga atau prestasi yang berupa
untuk tidak berbuat sesuatu atauuntuk melakukan suatu perbuatan hukum sepihak.
d)
Obyek pembayaran
Apa
yang harus dibayar adalah apa yang terutang. Kreditur bolehmenolak jika ia
dibayar dengan prestasi yang lain dari pada yangterutang, sekalipun nilainya
sama atau melebihi nilai piutangnya.Pembayaran sebagian demi sebagaian dapat
ditolak oleh kreditur.Undang-undang membedakan pembayaran atas :
1.
Utang barang species.
Debitur
atas suatu barang pasti dan tertentu, dibebaskan jika iamemberikan barangnya
dalam keadaan dimana barang itu beradapada waktu penyerahan, asal pengurangan
barangnya antara saatterjadinya perikatan dan penyerahan tidak disebabkan
olehperbuatan atau kelalaian debitur, kesalahan atau kelalaian orangyang
menjadi tanggungannya, debitur tidak lalai menyerahkanbarangnya sebelum timbul
kekurangan tersebut.
2.
Utang barang generik.
Debitur
atas barang generik tidak harus menyerahkan barang yang
paling
baik atau yang paling buruk.
3.
Utang uang
Uang
di sini harus diartikan sebagai alat pembayaran yang sah
Pada
asasnya pembayaran dilakukan di tempat yang diperjanjikan.Apabila di dalam
perjanjian tidak ditentukan ”tempat pembayaran”maka pembayaran terjadi :
-Di
tempat di mana barang tertentu berada sewaktu perjanjian
dibuat
apabila perjanjian itu adalah mengenai barang tertentu.
-Di
tempat kediaman kreditur, apabila kreditur secara tetap
bertempat
tinggal di kabupaten tertentu.
-Di
tempat debitur apabila kreditur tidak mempunyai kediaman
yang
tetap.
Bahwa
tempat pembayaran yang dimaksud oleh pasal 1394 KUHPerdata adalah bagi
perikatan untuk menyerahkan sesuatu benda bukanbagi perikatan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu.
f)Waktu
dilakukannya pembayaran
Undang-undang
tidak mengatur mengenai waktu pembayaran danpersetujuanlah yang menentukannya.
Jika waktunya tidak ditentukan,maka pembayaran harus dilakukan dengan segera
setelah perikatanterjadi.
g)
Subrogasi
Penggantian
kreditur dalam suatu perikatan sebagai akibat adanyapembayaran disebut
subrogasi. Atau dengan kata lain subrogasi adalahpenggantian kedudukan kreditur
oleh pihak ketiga. Menurut Pasal1400 KUH Perdata subrogasi terjadi karena
adanya pembayaran olehpihak ketiga kepada kreditur. Ketentuan ini sebenarnya
tidak sesuaidengan terjadinya subrogasi tersebut dalam Pasal 1401 ayat 2
KUHPerdata, di mana yang membayar adalah debitur sekalipun untuk itu
iameminjamuang dari pihak ketiga. Pihak ketiga dapat saja merupakanpihak dalam
perikatan, misalnya sama-sama menjadi debitur dalamperikatan tanggung renteng.
Dengan
terjadinya subrogasi, maka piutang dengan hak-hakaccessoirnya beralih pada
pihak ketiga yang menggantikan kedudukankreditur. menurut Pasal 1403 KUH
Perdata subrogasi tidak dapat
mengurangi
hak-hak kreditur jika pihak ketiga hanya membayarsebagian dari piutangnya.
Bahkan untuk sisa piutangnya itu kreditursemula masih dapat melaksanakan
hak-haknya dan mempunyai hakuntuk didahilukan daripada pihak ketiga tersebut.
Contoh
: Amempunyai utang Rp. 12.000.000,- kepada B dengan jaminan fidusia.Pihak
ketiga C membayar sebagian utang A kepada B yaitu sebesarRp. 8.000.000,- Jika
kemudian barang yang difidusiakan tersebutdijual laku Rp. 9.000.000,- maka B
akan mendapatkan pelunasan lebihdahulu yaitu sebesar Rp. 4.000.000,- dan
sisanya Rp. 5.000.000,- baruuntuk C.
Subrogasi
dapat terjadi karena persetujuan atau undang-undang (pasal1400 KUH Perdata).
Subrogasi karena persetujuan terjadi antarakreditur dengan pihak ketiga atau
debitur dengan pihak ketiga.
DAFTAR
PUSTAKA
Kartika
Sari, Elsi., Simangunsong, Advendi. 2007. Hukum Dalam Ekonomi.Jakarta:
PT. Gramedia Widiasarana Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar